Waktu makan siang sudah tiba, aku mengajak Lissy untuk lunch di salah satu restoran masakan Prancis yang berjarak tiga bangunan dari gedung universitas tempatku menimba ilmu kedokteran,
“Lis, makan apa?” tanyaku ketika kami duduk di salah satu meja yang berada dipojok kanan restoran yang telah disediakan,
“Mm.. kurasa aku hanya memesan salad, Croque monsieur, dan mix coffe , itu saja!” –dia hanya memesan cemilan, dan aku tak peduli, yang terpenting sekarang I’m so really hungry ! - kemudian aku hanya mengangguk, mengingat pelayan yang melayani berdiri disamping kami, menunggu dengan sabarnya,
“Kami pesan dua salad, dua Croque monsieur , dua mix coffe, dan ...” Aku bergumam memikirkan, “dan satu Coq Au Vin,” Aku menengok ke wajah si pelayan, melihat ia sedang mencatat pesanan kami, “mm.. baiklah, harap tunggu beberapa menit, pesanan akan segera diantar!” Ia dengan sopannya melayani kami, “Merci..” yang berarti terima kasih adalah kata yang tepat untuknya, aku mendesah dengan suara yang lembut, kemudian si pelayan berlalu untuk menyiapkan pesanan kami. Kemudian setelah si pelayan pergi kurasa Lissy sedang menungguku untuk menatap ke arahnya, dan aku berharap TIDAK SEKARANG ! aku benar-benar tidak ingin membicarakan hal itu sekarang, aku bukannya bosan, tapi ada sesuatu yang membuatku tak ingin mendengar atau menceritakan tentang hal itu. Dan kini aku tau Ia menatapku, menunggu. Tapi, aku masih saja malas untuk buka mulut,
“Ris..” Ia akhirnya mendesah,
“Hmmmm..?” aku hanya berpura-pura mengalihkan pandanganku pada majalah fashion yang kini sedang kubolak-balikkan,
“Aku benar-benar tidak menyangka apa yang sedang kamu pikirkan, tentang-..” -Logat inggrisnya mentok banget hingga terkadang membuatku kewalahan dengan pembicaraannya, gadis ini berdarah America, Ia bertemu denganku saat hari pertama kuliah di Prancis, kalo aku memang berdarah Prancis, jadi terkadang masih agak kaku dengan logat Inggris yang seperti itu, karena kebanyakan orang prancis tidak terlalu mendalami tentang bahasa Inggris *lebih sering menggunakan bahasa bangsanya sendiri*, tapi banyak sedikitnya aku mengerti tentang apa yang dikatakan Lissy padaku- kini, matanya menyipit ke arahku, dan meskipun mataku berada pada gambar-gambar dalam majalah tapi tidak sepenuhnya berada disana, sedari tadi aku hanya ingin mengawasi apa yang akan dikatakannya padaku,
“Aku juga sama, TIDAK MENGERTI DENGAN APA YANG KAMU KATAKAN” bohong, suaraku naik sedikit seperti suara bentakkan, (masih mengawasinya dengan berpura-pura),
“Ris.. kamu itu sahabat aku, aku tau kalo kamu itu hanya berpura-pura untuk tidak mau tau tentang dia, tapi sebenarnya kamu begitu menginginkan dia kan?” Ia berusaha menggali keterangan itu dariku, tapi aku enggan, jelas saja ! aku tak seharusnya terus-terusan begini, tak harus terus-terusan menyimpan perasaan terhadap sahabatku sendiri, ARTHUR ! bagaimana mungkin aku mencintainya, sedangkan dia itu sahabatku, aku memang mungkin harus menanggung akibatnya nanti jika terus menerus berbohong tentang perasaanku pada laki-laki itu, Aku memang menyayanginya, tapi aku menyayanginya bukan sebagai seorang sahabat, melainkan lebih dari itu , aku bertemu Arhur yang juga satu universitas denganku, Ia begitu ramah, polos, dan..keren, wajahnya-lah yang selalu dibuatnya terpesona, tapi apa boleh buat, aku tidak begitu beraninya untuk jujur tentang perasaanku padanya, tapi Lissy tetap bersikeras untuk aku menyatakan perasaanku pada laki-laki itu,
“Mmm.. Lis, udahlah ! ngapain juga aku jujur tentang perasaanku? Kalo dia nggak mau terima perasaanku, dan tidak mau bertemu denganku lagi gimana? Dia itukan sahabat kita juga!” aku bersikeras, tapi Lissy tetap memaksa,
“terus kenapa kalo kita sahabatan? Ada hukumnya gitu? Ingat Rissa, nggak akan ada yang bisa menghentikan atau merubah perasaan kita terhadap orang lain, dan.. sekalipun kita itu berbohong dalam perkataan!” Ia serius, tapi aku nyengir, berusaha untuk menganggap itu lelucon, padahal itu sendiri yang bisa membuatku tertusuk hingga rasanya ingin mati, dan ketika itu juga pintu terbuka, dan kami sama-sama memutar bola mata untuk melihat siapa yang datang dari ambang pintu, aku terbelalak, dan aku tau Lissy memandangiku sesaat,
“Hai..” Arthur menghampiri meja kami, Ia tampak ceria hari ini, dan aku tak tau apa sebabnya,
“Hei Art..” Lissy dengan cerianya membalas tatapannya, aku hanya terdiam, dan aku rasa wajahku memerah,
“Hei Ris.. senang bertemu denganmu disini, sudah dua hari ini aku tak bertemu denganmu, bagaimana kabarmu?” Ia duduk di sampingku, dan aku berusaha mengatur nafasku yang rasanya bergelora saat berada didekatnya,
“Baik. Bagaimana denganmu?” aku mengkeret ke arah Lissy, Ia memandangi kami berdua dengan senyum usil, awas kau ! :/
“Very well.” Ia tersenyum, dan saat itu juga pesanan kami tiba, kami makan dan mumpung aku punya dua Croque monsieur, jadi aku memberikan satu untuk Art, dan ia memesan black coffe untuk dirinya sendiri, Kami mengobrol dan tertawa-tawa sambil makan, dan aku merasa lebih baik, terkadang aku berpikir ada baiknya kami bersahabat saja, tapi hatiku tetap tak ingin menerimanya, apakah harus hatiku memaksa pikiranku? Atau haruskah aku mengikuti perkataan dari pikiranku saja? Urg. :/
“Oh ya.. aku ada kabar gembira untuk kalian! Dan kalian pasti akan sangat terkejut dengan kabar ini!” aku penasaran, Lissy-pun begitu,
“Apa Art? Lissy bertanya, dan sesaat Art tersenyum memandangi kami satu persatu,
“Aku...” Ia mendesah dengan senyum keceriaan, “Aku berpacaran dengan seorang gadis,” dan saat kata terakhir ia ucapkan, hatiku terasa disobek-sobek, seorang gadis? dan kini aku tau hatiku menangis, dan Lissy langsung memandangiku, khawatir, kemudian pandangannya beralih pada Art lagi,
“Oh ya.. Gadis mana yang kau pacari? Cantik?” Aku tau Lissy bertanya dengan setengah hati hanya untuk memastikan,
“haha.. tentu saja dia cantik! Namanya Juliette, Ia pintar dan kuliah di Fak. Bagian sastra Prancis,” Art menjawab dengan senyum yang berseri-seri,
“Universitas mana?” Lissy masih menggali informasi,
“Mm.. dia .. mm.. di Universitas kita juga!” Art seperti menjawab ragu, tapi aku langsung menyambungnya,
“mm.. benarkah? Aku turut bahagia Art!” dan memang benar, aku bahagia jika dia memang benar-benar bahagia dengan gadis itu, toh.,Art cuma sahabatku dan tidak lebih dari itu,
“terima kasih Rissa!” terima kasih kembali Art, ucapku dalam hati, dan aku merasakan air mata sudah dipelupuk mata, dan aku tak ingin dia keluar, perutku juga terasa diaduk-aduk, dan aku mual.
“tunggu sebentar ya, aku ke toilet dulu!” Lissy tau maksudku ! dan Ia membiarkan aku pergi, kurasa Ia benar-benar mengeriti perasaanku yang sedang dijatuhi puing-puing hati yang hancur lebur, ketika itu juga aku langsung berdiri dan beranjak pergi dari meja makan kami, dan Ia tetap memandangiku, prihatin. Sebenarnya aku tak membutuhkan keprihatinannya itu, ini hanyalah masalah keadaan dan kebodohanku sendiri.
Tangisku pecah begitu saja ketika, tiba didepan wastafel dengan kaca diatasnya, dan tentu saja, tangisku tidak seperti anak kecil yang hingga tersedu-sedu, dan memang cuma aku yang berada di toilet itu, sepi sekali. Aku bebas menangis sepuas hati.
Aku merasa seperti orang bodoh, aku menangis bukan karena aku tak bisa mencintai orang itu, tapi aku menangis saat aku tak bisa dicintai? BODOH! aku bodoh..
Aku terus menangis sambil memandang wajahku dengan bulir-bulir air mata yang mengalir, ke arah kaca, kini aku mulai menyesalinya, aku menyesal sejak dulu aku tidak mendengarkan perkataan Lissy untuk mengungkapkan perasaanku, dan kini aku terlambat, Art sudah menjadi milik orang lain, dan aku tak berhak apa-apa untuk itu, terimalah sakit hatinya! Uh.. :/
***
Art menawarkan diri untuk mengantar kami pulang dengan mobil Jeep-nya,
Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam, duduk di jok belakang penumpang, sementara Lissy dan Art, dengan asyik mengobrol tentang pacar barunya, seperti tak ada orang lain selain mereka di mobil itu.
Aku hanya diam seribu bahasa, serasa ingin cepat –cepat turun dari mobil, supaya jarum itu tidak menusuk hatiku jauh lebih dalam.
setibanya didepan pintu apartemen, aku turun dari mobil dengan langkah letih tak bersemangat,
“Sampai jumpa, Lissy..Art..” Aku meng-High five, dengan lesu, dan langsung berbalik dan masuk kedalam tanpa menoleh untuk kedua kalinya, Aku benar-benar tak punya semangat, aku terlalu lelah dan ingin tidur saja.
Aku menutup pintu kamar apartemenku dan langsung menghempaskan tubuhku di atas ranjang tempat tidurku, aku sulit bernafas, dan ingin menangis lagi. Dan dengan tak disadari, aku terpejam.
Ketika aku membuka mata, tubuhku terasa begitu lelah, seperti baru saja bekerja nonstop selama satu hari full, tapi lelah tubuhku kali ini lain, dan aku sudah tau alasannya. Jam wekker-ku menunjukkan waktu masih pukul 02.29 a.m dini hari, ingin aku terpulas lagi, tapi mataku enggan untuk terpejam. Aku memutuskan untuk pergi ke dapur, dan menuangkan air mineral ke gelas bening berkaki dan duduk dimeja makan dengan kedua tanganku yang memegang kepala, dan menghambur-hamburkan rambutku ke belakang kepala, Aku seperti sakit kepala*orang stres, lebih jelas*, tapi sebenarnya tidak! Aku hanya banyak pikiran saja, dan kini kefokusan pikiranku tertuju pada pembicaraan kami kemarin siang, Tidak! Tidak! Aku tidak ingin memikirkan hal itu, aku benci harus membayangkan sakit hati itu lagi! Aku harus kuat. HARUS! Aku hanya berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri. Langit masih terlihat gelap diluar sana, aku hanya duduk diam, mencoba berpikir apa yang ingin aku lakukan sekarang ini setelah kebodohan-kebodohan yang kuperbuat.
Di kampus, aku tiba lima menit lebih cepat dari pada Lissy, Ia kini duduk disampingku, dan aku merasa tidak nyaman dengan keberadaannya, karena dari ambang pintu, Ia sudah memandangiku dengan sikap was-was, ketika itu, aku hanya tersenyum masam,
“Ris.. aku khawatir-“ aku tau apa yang akan dikatakannya, makanya aku langsung membatantah, “nggak kok! Aku baik-baik aja, no problem.” Aku berusaha meyakinkan, dan aku tau Ia menatapku tidak percaya, “Kamu yakin?” Ia masih belum puas dengan jawabanku tadi, dan aku hanya mengangguk, dan saat itu juga Mrs.Thierry masuk ruangan dengan beberapa buku digenggamannya, aku merasa lega, setidaknya aku tidak akan membicarakan hal itu lagi dengan Lissy untuk beberapa saat.
Bel tanda jam usai, aku langsung berdiri dan keluar kelas, tak salah lagi ! aku orang pertama yang keluar, aku menghindar dari Lissy untuk tidak membahas soal apa-apa, aku hanya beralasan sedang tidak enak badan, aku malas dan tidak bersemangat! Aku ingin cepat-cepat pulang,
***
Sudah hampir satu bulan berlalu, Aku hanya berdiam diri dengan orang-orang disekitarku, mungkin aku hanya butuh sendiri untuk beberapa saat. Satu lagi, aku terus menerus menghindar dari Arthur dan Lissy. Aku tau ini bukan solusi yang tepat, tapi apa boleh buat? Hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tidak akan betah dengan ini semua, Aku takut, nantinya bukan jarum yang menusuk hatiku, malah.. pisau-lah yang akan mengiris hatiku, dan tentunya itu akan lebih menyakitkan. Aku hanya berusaha untuk hal itu tidak terjadi.
Ketika, bertemu di kampus aku hanya bersikap masam, dan kadang-kadang ketika Lissy bertanya-tanya tentang keadaanku, aku hanya tetap memberi jawaban yang sama “AKU BAIK-BAIK SAJA!”. dan meski aku tau itu semua bohong, aku menyimpan lagi perasaan sakit hatiku. Aku teringat ! tungguu.. aku berharap Lissy tidak membocorkan soal perasaanku pada Art, aku tidak mau itu terjadi! Tidak mau.
Mungkin, sekarang Art sedang bersenang-senang dengan Juliette, Pacar barunya. Aku membayangkan keceriaan dan kebahagiaan mereka berdua, namun lagi-lagi aku menghempaskan pikiran itu. Aku hanya perlu berpura-pura lagi dihadapan mereka, dan itu membuatku merasa bosan! Aku tak tahan harus terus menerus berbohong, tapi aku juga harus menyadari, dan harus menjaga perasaan orang lain !
Kini aku berjalan dari toko Roti Croissant, yang berjarak kira-kira enam ratus meter dari kampus, dan setelah membeli Croissant untuk makan siangku nanti. Aku memutuskan untuk berjalan hingga kekampus, hitung-hitung olahraga setelah mengurung diri di apartemen hampir sebulan.
Dalam perjalanan, ada beberapa penjual kaki lima, dan orang yang berlalu lalang, Aku nyaris melamun diperjalanan, dan tidak terlalu memerhatikan kedepan, perasaan penyesalan masih berkecamuk dalam pikiranku, sehingga sering mengganggu konsentrasiku sendiri. Dari kejauhan aku tau ada beberapa mobil yang berlalu lalang, tapi perasaanku terkaget saat sebuah mobil Volvo yang melaju dengan kecepatan tinggi, Aku masih dikuasai dengan pikiran alam bawah sadarku, tapi Aku terlonjak kaget saat orang-orang dibelakangi meneriaki, “Awas!” dan “Minggir...!”, Aku bingung, karena banyak kata-kata yang terlintas dalam pikiranku, aku tidak bisa mencerna perkataan mereka, namun dengan sesaat, sesuatu yang dingin dan sekeras marmer, menerjang tubuhku yang kecil dan mungil dengan hantaman yang kurasa luar biasa, tas selempangku terlepas dari tanganku, dan roti yang berada dalam gengaamanku tadi kini berhamburan, pandanganku kabur, aku hanya bisa melihat orang-orang yang mengerumuniku, aku mengerjap sekali, dan suara yang sangat kukenal berada disampingku, dan menggucang-guncang tubuhku, aku tau siapa itu! Aku tidak bisa melihat apa-apa, dan semua terasa gelap.
Dokter kluar dari pintu ruang ICU, Lissy dan Arthur duduk berdampingan di ruang tunggu, keduanya terlihat kalut, dan ketika menyadari dokter sudah berdiri disamping mereka, dengan sigapnya mereka berdiri dan menanyakan keadaan Rissa, “Dok.. bagaimana keadaannya?” Lissy bertanya dengan nada yang sangat ketakutan, tubuhnya bergetar,
“Sebaiknya, kalian menghubungi keluarganya! Ia kekurangan darah. Kurasa tabrakan tadi sangat hebat, Ia diterjang hingga darah yang keluar banyak sekali!” dokter mendesah pelan, dengan sesekali menunduk, “Dia butuh darah secepatnya! Kalau tidak, dengan sangat menyesal, kalian harus menanggung hal terberat”, Dokter berlalu dan pergi meninggalkan mereka berdua. Arthur dan Lissy berpandangan, mereka bingung, Lissy-pun menangis hingga jatuh terkulai ke lantai.
Apa yang akan mereka lakukan untuk selanjutnya, Arthur terlihat sangat putus asa, kemudian menengok ke arah kaca pintu rumah sakit, memandangi Rissa yang terbaring lemas didalam sana, dengan monitor/ alat pendeteksi detak jantung, dan oksigen yang ditransfer menutupi hidungnya, kini Arthur tak tau lagi apa yang harus dilakukannya,Ia bingung! Keluarga Rissa berada jauh dengannya, Informasi terakhir ayahnya bekerja di Selandia baru, sejak bunya meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan empat tahun terakhir Ayahnya hanya menempatkan Rissa di salah satu apartemen di Prancis, untuk menimba ilmu di fakultas kedokteran di Prancis, bahkan mereka berdua tidak tau menahu tentang keluarga Rissa yang lain, yang mungkin tersebar di beberapa bagian di Prancis, dan dia hanya sendiri untuk menimba ilmu di Paris! Argghh...
Arthur memandang lemah dari balik jendela, rasanya ia ingin menyerah, tapi tak tega! Kemudian, ia berbalik dan berkata,
“Kita coba dulu, siapa tau salah satu diantara kita, ada yang cocok dengan darah Rissa!” Arthur berantusias,
“baiklah!” begitu juga Lissy.
**
Mungkin sekarang aku tidak lagi di bumi. Aku disurga! Semua putih, seputih salju, tidak ada siapapun disana! Aku berdiri, dengan baju putih pula! Aku yakin, ini pasti disurga! Mobil yang tadi menghantam tubuhku dengan hebatnya, merenggut nyawaku! Aku merasa tidak apa-apa. Aku baik-baik saja disini. Semua rasa sakitku hilang! Aku bebas. :D
Tapi, seseorang dengan cahaya yang sangat menawan muncul dari sebuah pintu yang terbuka, aku juga tidak menyadari jika ada pintu disana itu, Ia mendekat ke arahku. Aku bahkan tidak mengenal siapa orang ini, Mungkin dia malaikat.
“Rissa.. Anakku! Kembalilah...” i...i...itu..kan? Suara mama? Kenapa Ia ada disini, Aku tau, mama memang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, tapi tak menyangka Ia akan bertemu denganku disini,
“kenapa Ma? Rissa disini saja, sama mama! Rissa nggak mau kembali!” Aku tertunduk, aku ingin menangis, tapi kantong airmataku terasa kering saat ini,
“Rissa.. Kembalilah nak ! kamu masih punya banyak hal yang perlu dilakukan disana, Papa menunggumu untuk menjadi seorang dokter yang handal, dan....-“ perkataannya putus, Wajahnya begitu cantik, Ia masih terlihat seperti terakhir kali aku melihatnya, sebelum terakhir kali aku melihat mama,
“Apa ma? Pokoknya Rissa nggak mau kembali! Rissa terlalu tersakiti disana, ma! Rissa nggak mau!”
“Kembalilah ! Tuhan dengan senantiasa akan menyertaimu, hadapilah yang ada, maka kamu akan dimampukan olehnya! Begitupun mama, akan selalu mengawasi kamu dari atas sini! Mama menyayangimu, nak!” Senyumnya merekah, namun dengan seketika, cahaya itu pudar, dan bayangan mama hilang, dan kini tak terlihat apa-apa lagi, Aku tidak lagi ditempat seputih salju itu.
**
“Puji Tuhan! Astaga.. Tuhan memang membantu kita, Art!” Lissy begitu bersemangat dan bahagia,
“Iya Liss!” Arthur juga terlihat lega, sekaligus haru bahagia
“Darahmu cocok dengan Rissa, Art! Kita punya harapan!” Arthur dan Lissy kini merasa lega setelah menerima hasil tes darah masing-masing.
Transfusi darahpun berlangsung, Arthur menyerahkan darah dalam tubuhnya untuk ditransfusikan pada Rissa, Orang yang dicintainya. Ya benar! Orang yang benar-benar dicintai Arthur adalah RISSA.
***
Lima hari sudah berlanjut, dan kini Rissa belum juga sadar, Art tetap berjaga-jaga disampingnya sepanjang hari, sering kali Lissy datang untuk membawakan pakaian ganti atau makanan untuk Art.
Art tertidur pulas disamping ranjang, memegangi pergelangan tangan Rissa yang terasa begitu hangat, kini keadaan Rissa sudah baik-baik saja, Ia tidak lagi menggunakan Alat pendeteksi detak jantung setelah melewati masa kritisnya.
Dengan tidak sadarnya, ada perubahan! Rissa menggerakan jari-jarinya satu persatu, dan Art sama sekali belum menyadarinya, perlahan Ia membuka mata, dan mulai melihat disekitarnya.
Aku dimana? Ketika membuka mata aku merasa ada yang tidak beres, Aku kurang tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan betapa terkaget sekaligus terharunya aku ketika melihat Art tertidur pulas disampingku, menggenggam tanganku, lembut. Aku tidak bisa menyangkanya. Sudah berapa lama aku tidur disini? Oh kuharap tidak lebih dari tiga bulan.
Aku mengelus-elus rambut hitam legang milik Art, Aku begitu merasakan keberadaan orang yang aku sayangi ini, kemudian dengan suara yang terdengar parau ditelingaku sendiri, Aku berusaha membangunkan Art,
“Art.....Art....” Aku berusaha membuat nada suaraku lembut, tapi tidak bisa, jadinya aku hanya seperti orang berbisik, kemudian ia bangun perlahan dan kaget melihat aku sudah memandanginya dengan senyum manja,
“Ris, kau sadar! Tunggu sebentar, akan kupanggilkan dokter!” ketika itu juga aku menahan pergelangan Art, “sudahlah Art! Kau tidak ingin menggemparkan rumah sakit dini hari kan?” ketika itu, bola matanya tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 01.15 a.m, itu bahkan masih terlalu pagi, “Tinggalah bersamaku disini!” Aku hanya berbisik, dan akhirnya Art mengangguk mengikuti perkataanku, kemudian Ia kembali duduk disampingku,
“Kau tidur disini sudah enam hari, dan hampir satu minggu!” Ia mulai berkata, dan aku hanya tersenyum manja,
“tadinya kukira aku sudah tertidur selama lebih dari tiga bulan disini, hahah” aku merasakan kelegaan yang lain saat Art sedang berada disampingku,
“kau ini. Ada-ada saja! kau tau? Kau sangat membuatku ketakutan..em..e..ee..” Dan betapa tidak disadarinya kata-kata itu terlontar dari mulutnya, dan Ia malu, seperti ingin menarik kata-kata itu kembali, dan kini aku menyipit memandanginya, “Aku? Membuatmu ketakutan?” Aku berusaha menggali sesuatu yang mungkin tidak bisa kusangka, “Benarkah Art?” Ia mengangguk pasrah,
“Rissa.. kau tau.. mm..” Ia berusaha berkata sesuatu, “Aku minta maaf,” Aku bingung,
“Untuk apa Art? Kau tidak membuat kesalahan.” Kurasa begitu,
“Sebenarnyaa..” Ia menunduk,
“hemm?” aku menunggu,
“Rissa.. sebenarnya aku tau tentang perasaanmu padaku sejak lama, tapi aku hanya berusaha brusaha menutupi hal itu dari siapapun, bahkan darimu!” Ia berusaha berani untuk mengatakan hal itu, aku gugup, tapi tidak terlihat dibalik wajah pucatku yang sangat terlihat jelas,
“hmm... apakah Lissy mengatakannya padamu? Aku minta maaf Art, Aku hanya tidak ingin memberi tau perasaanku padamu, karena aku takut kau marah, dan tak mau menemuiku lagi!” nada suaraku terdengar menyesal,
“tidak Ris. Tidak, bukan begitu! Jangan meminta maaf! Aku juga merasa bersalah padamu, Mungkin..” Ia terdiam sejenak, “penyebab kecelakaanmu juga karena aku, menurut info dari Lissy, Kau tidak mau menemui Aku ataupun Lissy saat dikampus dengan memberi seribu alasan, asal tidak berlama-lama dengan kami apalgi berbicara, dan selalu menghindar saat berpapasan. Aku tau, hal itu bermula dari pembicaraan kita waktu di restoran wantu itu....” Aku menelan ludah, tak ingin mendengar yang selanjutnya,
“Bukan salahmu Art! Mungkin hanya kebodohanku saja,” Aku berusaha meyakinkannya agar supaya Ia tidak terus menerus menyalahkan dirinya sendiri, karena memang tidak sepenuhnya ini salahnya,
“Oh ya Art.. Aku bukannya mau mengganggu hubunganmu dengan Juliette tentang perasaanku, aku minta maaf! Jangan pedulikan itu Art! Lanjuti hubunganmu dengannya,” Aku tau kata-kata itu tidak tulus, tapi aku tetap akan berusaha untuk merelakan Art, kini Ia tersenyum usil memandangiku, dan tawanya pecah sesaat, dan aku memasang wajah bingung,
“ha ha .. satu lagi permintaan maafku untkmu Rissa! Soal Juliette....” tawanya mulai reda, dan Ia memandangiku dengan sorot mata yang tajam penuh cinta (pikirku), “Aku mengarangnya! Juliette tidak benar-benar ada! Dan..” Aku terkesiap kaget, dan menunggu kalimat yang masih ganjil itu, “Sebenarnya, kaulah yang menjadi Juliette-nya. Aku sungguh berusaha keras untuk mengarang kisah Juliette padamu dan Lissy, dan itu berhasil, kau tau?...” keterlaluan anak ini, tapi aku masih bertanya-tanya, untuk apa Ia mengarang soal pacar bohongannya itu,
“Kau ini ! lalu.. mengapa kau berusaha membohongi aku dan Lissy soal... pacar bohonganmu itu?” Aku menyipitkan mata memandanginya, kini tawanya mulai keluar lagi, tapi kurasa Ia tidak akan terbahak-bahak lagi, “kau benar-benar ingin tau alasannya?” Ia mencobaiku sekarang, aku hanya diam menunggu jawaban,
“Karenaaa.. alasannya adalah kau ! Aku hanya ingin melihat reaksimu waktu itu, dan aku tidak menyangka,” Kini tawanya lenyap, “Aku tidak menyangka, kalau semua akan menjadi seperti ini, Rissa! Itu sama saja aku mencelakaimu..bahkan hampir merenggut nyawamu” Ia memasang tampang bersalah, dan aku juga tau, Aku hampir saja mati, namun untung saja mama manyuruhku kembali dan menghadapi semuanya, dan.. semua bahkan terasa begitu Indah saat ini,
“Oh Art.. ! sudah kubilang itu bukan salahmu, jangan terus menerus menyalahkan dirimu sendiri seperti itu, Aku tidak suka!” Aku mengelus-elus pergelangan tangannya,
“terima kasih, Ris !” Ia tersenyum, akupun begitu, kini yang aku rasakan sebenarnya hanyalah cemburu buta, karena pacar bohongan Art, Aku mencintainya ! sangat mencintainya, sehingga kata-kata yang keluar dari mulut Art, begitu berarti dan tidak membuatku terkejut, Apa artinya itu?.
Art memandangiku dengan tatapan penuh kasih sayang,
“Rissa..” kini suaranya yang lembut serasa memenuhi isi kepalaku,
“Hmm..?”
“Aku...” Ia terlihat gugup sekarang ini, “mm.. Sebenarnya, Aku juga menyayangimu”, dan betapa terlonjak aku ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya, IA MENYAYANGGIKU ! dalam hatiku bersorak kegirangan, tapi wajahku menetapkan pandangan yang biasa-biasa saja dengan sedikit senyuman manis,
“Art... Aku juga menyayangimu! Aku sangat menyayangimu..” Ia terlihat haru, kini Ia berdiri dan memeluk tubuhku yang mungil, terbaring masih terasa lemas..
“terima kasih. Mulai sekarang aku akan melindungimu Rissa.. Aku mencintaimu!”
dan saat itu, Aku merasa seperti berada dipadang yang dipenuhi bunga-bunga indah yang ditiup angin sepoi. Duniapun terasa seperti milik kami berdua.
***
Matahari mulai menceburkan tubuhnya kedalam laut, Aku dan Art duduk di atas batu karang yang berukuran sangat besar, kami duduk menikmati matahari terbenam di pesisir pantai, setelah melewati masa pemulihanku selama satu bulan terakhir ini. Art mengantarkanku ke pantai yang berada di pinggiran kota Paris, *hadiah setelah kesembuhanku dari masa sulit setelah kecelakaan bulan lalu*.
Kini Ia merengkuh tubuhku mendekat ke arahnya, terassa begitu hangat saat berada dipelukannya,
“Kau tau? Matahari sudah terbenam, tapi cintaku, dan kasih sayangku masih kuberikan untukmu! Dan selalu untukmu! Jagalah baik-baik semuanya itu, Rissa” Aku tersenyum, dan ia lebih merapatkan rengkuhannya,
“hatiku juga sudah kutitipkan untukmu, aku berharap kau menjaganya baik-baik, karena kurasa kaulah satu-satunya orang, yang bisa menjaga hatiku agar selalu utuh, Art!”
“Pasti, sayang!” Kata-kata itu terdengar begitu lembut ditelingaku, matahri tinggal seperempat, Art menarik tubuhku mendekatinya, antara wajahku dengan wajahnya kira-kira tingga berjarak lima empat centi.. tiga centi.. dua centi.. satu centi..
akupun terbenam dalam kehangatan itu, Berada disampingnya begitu membuatku merasa nyaman, Ia pertama dan terakhirkuu.
Hatiku kini hanya ada :
Rissa <3 Arthur.
-THE END-
(Created by : Thea Link, doc 2010)
-Leave the heaven to be with you-
Senin, 27 Desember 2010
Diposting oleh Authors di 1:14 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar